Ada ibu-ibu setengah baya mengisi bagian vokal tetembangan pada saat
pembukaan pertunjukan diiringi bunyi alat musik tradisional yang
dimainkan oleh bapak-bapak atau yang biasa disebut pangrawit.Ibu-ibu ini
menyanyikan sejumlah bawa lagu dengan merdu. Pertunjukan seperti ini biasa mereka sebut sebagai mocopatan.
Seni tradisi Gobyok berupa gabungan beberapa kesenian turun temurun waris luluhur Dusun Pulesari yaitu Nyai Pule dan suaminya. Pada jaman dahulu, seni tradisi Gobyok digunakan untuk kepentingan dakwah agama Islam.
Kesenian itu meliputi tarian, tetembangan, dan permaianan alat musik tradisional. Pelaku kesenian Gobyok adalah semua anggota masyarakat Dusun Pulesari, mulai orang tua hingga pemuda desa yang berperan masing-masing di setiap pertunjukannya.
Usai mocopatan, mereka turun dari panggung, berganti pertunjukan tari-tari yang diiringi lagu-lagu Barzanji. Beberapa anak muda muncul dengan berpakaian ala prajurit perang lengkap dengan tameng dan tombak. Mereka menari seirama iringan musik dan lagu dari pangrawit.Tarian-tarian seperti ini biasa disebut Kubro Siswo.
Setelah pertunjukan Kubro Siswo, para penari muda itu pun turun panggung berganti dengan delapan bapak-bapak berpakaian beskap khas Yogyakarta yang juga melakukan tarian-tarian. Mereka terlihat lincah dan energik. Tari-tarian pun ditutup tari Angguk Kipas. Disebut demikian karena properti yang digunakan berupa kipas tradisional.
Tarian ini melibatkan pula anak-anak muda. Sarjana, ketua Sanggar Kesenian Wono Budoyo, Gobyok Pulesari ini pada awalnya hanya sebagai acara pendukung dari upacara adat Pagar Bumi yang mereka selenggarakan setiap bulan Sapar Rabu terakhir.
Namun sesuai dengan perkembangannya kesenian Gobyok sewaktu-waktu dapat dipentaskan bila ada permintaan dari seseorang yang memiliki hajatan, seperti pernikahan.Biasanya juga ditampilkan untuk menyambut tamu yang datang berkunjung di desa wisata mereka.
Dusun Pulesari memang sudah lebih dari dua tahun ini telah berkembang sebagai salah satu desa wisata yang ada di Kabupaten Sleman.
“Kami sangat antusias untuk mengikuti acara seperti ini, karena acara seperti ini sangat berarti dan berguna untuk mengumpulkan warga dan menjalin kerukunan sesamanya,” tambah Sarjana, yang juga merupakan ketua desa wisata Pulesari.
Seni tradisi Gobyok berupa gabungan beberapa kesenian turun temurun waris luluhur Dusun Pulesari yaitu Nyai Pule dan suaminya. Pada jaman dahulu, seni tradisi Gobyok digunakan untuk kepentingan dakwah agama Islam.
Kesenian itu meliputi tarian, tetembangan, dan permaianan alat musik tradisional. Pelaku kesenian Gobyok adalah semua anggota masyarakat Dusun Pulesari, mulai orang tua hingga pemuda desa yang berperan masing-masing di setiap pertunjukannya.
Usai mocopatan, mereka turun dari panggung, berganti pertunjukan tari-tari yang diiringi lagu-lagu Barzanji. Beberapa anak muda muncul dengan berpakaian ala prajurit perang lengkap dengan tameng dan tombak. Mereka menari seirama iringan musik dan lagu dari pangrawit.Tarian-tarian seperti ini biasa disebut Kubro Siswo.
Setelah pertunjukan Kubro Siswo, para penari muda itu pun turun panggung berganti dengan delapan bapak-bapak berpakaian beskap khas Yogyakarta yang juga melakukan tarian-tarian. Mereka terlihat lincah dan energik. Tari-tarian pun ditutup tari Angguk Kipas. Disebut demikian karena properti yang digunakan berupa kipas tradisional.
Tarian ini melibatkan pula anak-anak muda. Sarjana, ketua Sanggar Kesenian Wono Budoyo, Gobyok Pulesari ini pada awalnya hanya sebagai acara pendukung dari upacara adat Pagar Bumi yang mereka selenggarakan setiap bulan Sapar Rabu terakhir.
Namun sesuai dengan perkembangannya kesenian Gobyok sewaktu-waktu dapat dipentaskan bila ada permintaan dari seseorang yang memiliki hajatan, seperti pernikahan.Biasanya juga ditampilkan untuk menyambut tamu yang datang berkunjung di desa wisata mereka.
Dusun Pulesari memang sudah lebih dari dua tahun ini telah berkembang sebagai salah satu desa wisata yang ada di Kabupaten Sleman.
“Kami sangat antusias untuk mengikuti acara seperti ini, karena acara seperti ini sangat berarti dan berguna untuk mengumpulkan warga dan menjalin kerukunan sesamanya,” tambah Sarjana, yang juga merupakan ketua desa wisata Pulesari.